HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)



PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI HUTAN KEMASYARAKATAN
(HKm)
  1. Potensi Hutan dan Sumber Daya Manusia
  1. Hutan dan lingkungan
  1. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki berbagai manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga hutan tdak saja berperan sebaga pemasok bahan baku (kayu) tetapi juga berperan sebagai sistem penyangga kehidupan (pengatur tata air dan penopang ekosistem pada umumya).
  2. Degradasi hutan untuk bebagai kepentingan sudah dirasakan masyarakat sejak lebih dua dekade terakhr. Akibat proses degradasi berjalan terus menerus maka faktor produksi penting seperti lahan di desa mengalami kekritisan sampai pada tingkat tidak lagi dapat diharapkan menghasilkan sesuatu produk untuk menopang keberlanjutan hidup masyarakat desa hutan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
  3. Kebijakan pengelolaan hutan pada kawasan hutan produksi melalui pemberian ijin HPH ternyata tidak pula menjamin kelestarian hutan dan kurang menyentuh langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, sehingga terjadi seluas 4,6 juta ha kawasan hutan ex HPH tersebar di beberapa propinsi yang tidak lagi potensial untuk dikelola dengan pola HPH. Kondisi ini mendorong diperlukannya alternatif pola dalam upaya menahan laju degradasi hutan. Salah satu pola yang memungkinkan diterapkan adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm), karena dengan HKm partisipasi masyarakat dilibatkan dalam mengelola hutan secara lestari sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
  1. Masyarakat
    1. Secara historis, harus diakui bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan merupakan komunitas yang seringkali " dicurigai" sebagai perusak hutan. padahal mereka biasanya memiliki tradisi yang kaya akan kearifan tradisional dalam memanfaatkan dan memelihara sumberdaya hutan namun kurang diketahui oleh masyarakat luas, Kondisi ini membuat peran masyarakat desa hutan sebagai pemelhara dan pelestari sumberdaya hutan kurang memperoleh pengakuan
    2. Masyarakat desa hutan sebagian besar merupakan masyarakat yang tergolong masih tertinggal dalam hal pengetahuan dan ketrampilan juga terutama dalam hal aksesnya untuk memperoleh iinformasi dan memanfaatkan peluang kemudahan-kemudahan yang tersediia bagi mereka.
  1. Kelembagaan Kehutanan
Lembaga formal yang terlibat dalam pengurusan dan pengelolaan hutan pada saat ini meliputi Departemen Kehutanan dengan Unit Pelaksana Teknis di daerah, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten serta BUMN
  1. Sinergi Potensi Pengelolaan Hutan
  1. Kondisi pengelolaan hutan
Pelaksanaan pengelolaan hutan yang menitik beratkan pada pemanfaat an secara ekonomi dengan kebijakan yang sentralistik mengalamii kegagalan dan hal ini telah menyadarkan banyak pihak untuk tidak mengulangi kesalahan yang oleh karena itu upaya pengelolaan hutan saat ini dan dimasa datang mulai ke arah pemberdayaan masyarakat melalui proses partisipatif
Pada tataran kebijakan, perubahan mendasar telah dilakukan dengan disahkannya UU no. 41/1999 tentang Kehutanan. Yang pada penjelasan pasal 5 dan 7 memberiikan alternatif pengelolaan hutan untuk pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pengembangan peran serta masyarakat diatur lebiih lanjut pada pasal 68.
  1. Kelembagaan masyarakat
Organisasi masyarakat pendukung kegiatan kehutanan jumlahnya sudah banyak di desa. Namun organisasi kemasyarakatan tersebut belum disiapkan untuk mengelola sumberdaya hutan dalam jangka panjang.
Organisasi yang ada biasanya beranggotakan petani-petani kecil dalam kelembagaan yang informal dengan kondisi yang tidak saja lemah dalam asset dan permodalan tetapi juga dalam penguasaan teknologi dan pemasaran produk, mesyarakat dijadikan obyek, wahana untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan. Dengan demikian dalam pengembangannya diperlukan dukungan modal, inovasi teknologi, bimbingan teknis dan manajerial serta jaminan pemasaran bagi produk yang dihasilkan serta dukungan peraturan dan fasilitasi oleh berbagai pihak sehingga masyarakat dapat menjadi subyek dari pembangunan itu sendiri.
  1. Kelembagaan pengelolaan hutan
Sejalan dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan yang mengikuti penerapan kebijakan otonomi daerah maka jajaran Departemen Kehutanan telah memulai melaksanakan program pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dengan HKm masyarakat desa hutan merupakan mitra Pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari.
  1. Sinergi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan
    1. Lembaga masyarakat yang mandiri sebagai subyek pembangunan hutan dengan net workingnya (terlampir).
    2. Restrukturisasi organisasi dan manajemen kehutanan yang dapat bermitra dengan Lembaga masyarakat mandiri dengan supervisinya.
    3. Fasilitasi dalam permodalan khususnya dari Pemerintah.
    4. Sistem silvikultur yang produktif dan efektif terhadap gangguan pengelolaan hutan baik kebakaran maupun pencurian hasil hutan maupun penjarahan lahan.
  1. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
  1. Lembaga Masyarakat Mandiri
    1. Kelompok tani terpolakan dalam Lembaga formal mandiri (berbadan hukum).
    2. Konsep pemberian hak dan kemitraan yang menguntungkan kedua pihak (petani dengan Pemerintah, BUMN atau Swasta)
    1. Kelompok tani diberi Hak Pengelolaan Hutan atas Hutan Negara / Adat / Desa yang belum dibebani hak
    2. Kemitraan dapat dilakukan atas areal yang sudah dibebani hak :
1). Swasta
2). BUMN
    1. Pembentukan dan pendayagunaan HKm dengan skala prioritas sesuai kesiapan lembaga masyarakat, untuk itu diperlukan standar dan kriteria
    1. Untuk memudahkan kelompok tani melakukan kemitraan dengan BUMN maupun Swasta maka organisasi pengelola hutan (UPT, BUMN dan Swasta) harus disesuaikan dan Pemerintah memberikan supervisi untuk teknologi, pasar dan kelembagaan serta fasilitasi.
    2. Untuk menunjang keberhasilan pola kemitraan khususnya bagi BUMN maka perlu perubahan pengelolaan hutan khususnya BUMN :
    1. Bentuk perusahaan kehutanan yang sesuai adalah Perum dengan otonomi yang luas (seperti Perum Perhutani). Bentuk Perum lebih sesuai karena sifatnya mengelola asset publik (hutan) yang menekankan pelayanan masyarakat.
    2. BUMN terbagi 2 yaitu Perum Perhutani (di Jawa ) dan Perum Inhutani (di Luar Jawa) yang merupakan merger dari Inhutani I s/d V.
    3. Struktur organisasi perlu disesuaikan (terlampir), sehingga lebih memungkinkan peluang kemitraan dengan usaha masyarakat dan manajemen dilakukan secara professional.
    4. Departemen Kehutanan selaku regulator dan selaku kuasa pemegang saham BUMN sehingga mekanisme RUPS cukup di Departemen Kehutanan (perlu PP tersendiri).
    5. Butir a. s/d d. diharapkan akan dapat menunjang kepentingan pusat dan daerah.
    1. Sterilisasi perijinan (semua ijin yang berkaitan dengan pungutan-pungutan dihapuskan kecuali yang berkaitan dengan kemitraan dan ijin usaha Hutan Kemasyarakatan/HKm), dengan demikian ijin yang sudah dikeluarkan tidak akan diperpanjang.
    2. Pembagian hasil
Pembagian keuntungan antara kelompk tani dan pemerintah :
    1. Hak Pengelolaan
1). Bagian keuntungan bagi kelompok tani
2). Bagian keuntungan Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Pemerintah mendapat keuntungan dari pajak dan laba usaha (hasil agrobisnis dan/atau hasil hutan)
    1. Kemitraan
1). Mendapat bagian keuntungan pada akhir daur dari hasil hutannya
2). Upah kerja
3). Pembagian hasil agrobisnis (usaha tani pangan, kebun dan ternak)
    1. Baik pada a dan b kelompok tani bertugas melakukan pengamanan hutan hingga panen
    1. Pola usaha Agrobisnis :
    1. Tanaman hutan (kayu dan non kayu)
1). Jenis tanaman sesuai peruntukan lahan
2). Jarak tanam, menggunakan jarak tanam akhir daur yang memiliki keuntungan :
a). Memberi tenggang waktu yang cukup bagi usaha tani dan usaha tanaman hutan yang bisa dikembangkan dengan konsep agrobisnis
b). Jumlah kebutuhan bibit tanaman hutan akan diperkecil, biaya tanam hemat, penghematan dapat diarahkan untuk mendapatkan jenis unggul sehingga diharapkan hasil akhir daur dapat optimal
c). Tanpa penjarangan khususnya untuk di luar Jawa karena kegiatan penjarangan memerlukan biaya besar dan hasil penjarangan kalau diangkut keluar hutan akan menimbulkan beban biaya sedangkan jika dibiarkan akan menjadi bahan bakar/penyulut api dimusim kering. Selain itu hasil penjarangan tidak laku dijual dan biasanya tidak ada yang berminat memanfaatkannya. Dengan demikian keuntungan tanpa penjarangan yakni adanya penghematan karena tak perlu ada biaya penjarangan dan tidak memberikan kemudahan terjadinya kebakaran hutan di musim kering
e). Perlu prunning intensif. Prunning akan terjadi otomatis karena peserta usaha tani akan tergerak melakukannya untuk mendapatkan ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman usaha tani.
    1. Tanaman pertanian
1). Jenis budidaya pertanian yang dikembangkan berupa :
a). Tanaman pangan
b). Kebun
c). Ternak
2). Manfaat budidaya pertanian :
a). Optimalisasi pemanfaatan ruang antara tanaman pokok
b). Penutup lahan terbuka
c). Usaha tani yang cepat menghasilkan sambil menunggu panen hasil hutan
d). Meningkatkan kesuburan tanah hutan
e). Akan meningkatkan frekuensi kehadiran pengelola lahan/petani di kawasan hutan untuk memelihara tanamannya sehingga upaya penanggulangan gangguan keamanan hutan dapat berjalan dengan sendirinya
f). Pengelolaan lahan yang intensif membuat lahan selain subur juga bersih dan selalu hijau sehingga upaya penanggulangan kebakaran hutan menjadi efektif.
3). Untuk meningkatkan penghasilan petani bisa dikembangkan upaya tindak lanjut dari pemanfaatan lahan yaitu industri rumah tangga, usaha pakan ternak dll, khususnya pada tingkat hulu
  1. Fasilitasi
    1. Penyediaan Pedoman Pelaksanaan /Prosedur HKm
    2. Modal kerja berupa :
    1. Kredit lunak ( bisa bersumber dari Dana Reboisasi )
Pengaturan lebih lanjut tentang kredit diserahkan kepada Pemerintah (DEPHUT) yang meliputi : pengaturan UPT yang menangani kredit, Bank Penyalur dan DR yang dapat dimanfaatkan.
    1. Penyertaan Modal Pemerintah (PMP)
    2. Dari Sumber lain non Pemerintah
    1. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
    1. Pemberian Hak Pengelolaan
    2. Saksi atas kemitraan
    1. Peran BUMN / Swasta
    1. Pengelolaan sebagian hutan negara / Desa / Adat.
    2. Industri hulu dan hilir.
    3. Penanganan pasar hasil hutan.
    1. Fasilitasi dalam operasional pengelolaan (misal pelatihan, refleksi pelaksanaan)  
  1. Pengembangan sistem informasi pasar untuk produksi hasil hutan, agrobisnis, dan perkembangan harga pasar secara periodik.
  2. Supervisi (Internal /UPT, Pendampingan dan Eksternal)
  1. Adanya tenaga simpul penggerak berupa tenaga professional kehutanan/tenaga terlatih/pendampingan dalam konteks PMP
  2. Supervisi oleh UPT Pusat dan Dinas Kehutanan :
    1. Teknologi
    2. Pasar
    3. Kelembagaan
    1. Pengendalian Pemerintah
    1. Kontrol Pemerintah oleh DEPHUT melalui Ditjen RLPS, Pemerintah memasukan tenaga pendamping yang berperan sebagai supervisi internal sesuai dengan saham yang dimiliki Pemerintah dan juga sebagai supervisi ekternal.
    2. Perjanjian kemitraan untuk jangka panjang dan diketahui oleh DEPHUT
    3. Pola kemitraan diterapkan untuk jangka waktu ± 20 tahun (s/d akhir daur) dan evaluasi terhadap kemitraan yang ada, dilakukan tiap tahun untuk menilai kinerja usaha
    4. Konsep pertanggungjawaban usaha terhadap pemilik modal/pemegang saham dengan formula Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan untuk sementara semua usaha HKm bermitra dengan Pemerintah yang kemudian secara bertahap dapat bermitra dengan BUMN atau Swasta

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »