REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI AGROFORESTRY SISTEM SYLVOPASTURE

REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI AGROFORESTRY SISTEM SYLVOPASTURE



     Pertambahan lahan terdegradasi di Indonesia tiap tahun semakin meningkat. Peningkatan luas lahan kritis merupakan kesatuan yang bersifat simultan antara kondisi biofisik, social ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan pemanfatan lahan sebagai faktor produksi utama, serta penerapan kebijakan yang kurang mempertimbangkan kelestarian. Karena itu, dalam menentukan tindakan pengendalian dan model endekatan, perlu mempertimbangkan keterwakilan aspek sosial budaya beserta einginan masyarakat setempat. Untuk memperoleh landasan teknik pendekatan dan pengendalian lahan kritis, perlu adanya sintesis teknologi yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat dengan upaya rehabilitasi lahan tersebut.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolahan lahan kritis dan tata air diwilayah ini adalah menyeimbangkan perlindungan dan pelestarian sumberdaya tanah dan air yang terbatas dengan semakin meningkatnya, kebutuhan manusia. Keragaman dan keunikan geografi dengan perbedaan tipologi agroklimat dan tipe lahan yang khas membutuhkan penanganan yang bersifat spesifik, khususnya untuk rehabilitasi lahan. Untuk itu sangat diperlukan masukan dan adaptasi teknologi yang mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan pola pemanfaatan lahan serta diperlukan kehatihatian dalam mengadopsi model rehabilitasi lahan yang berhasil di daerah lain.

Guna mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan, diperlukan terciptanya model  engelolaan yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga, masyarakat secara aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan. Penggunaan atau penerapan teknologi Agrovorestry system silvopastoral. selain untuk memenuhi  kebutuhan hidup manusia juga untuk merehabilitasi lahan kritis sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Upaya rehabilitasi lahan kritis juga memerlukan perangkat hukum, sistim pengelolaan dan pemanfaatan serta peraturan kelembagaan yang mendukung terwujudya partisipasi masyarakat. Karena itu sagat diperlukan bebagai pendekatan yang multi pihak baik dari segi teknis, kesesuaian jenis lahan dan tanaman. Agroforestry system silvopastoral memberikan manfaat yang berkelanjutan dan disamping itu mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung kegiatan rehabilitasi lahan kritis serta terbentuk kelembagaan yang kuat yang bersifat lokal.

Untuk itu dalam mengembangkan pola agroforestry, perlu dipertimbangkan pola pendekatan yang tepat, yaitu sesuai dengan kemampuan sumberdaya manusia, lingkungan, social budaya serta pemilihan jenis komoditi yang akan dikembangkan. Dengan berbagai pertimbangan factor kondisi lahan dan masyarakat yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian dan peternakan, maka tipe agroforestry yang dapat dikebangkan didaerah ini antara lain: agrosilviculture, Sylvopasture.

Manfaat dari kegiatan ini antara lain adalah sebagai berikut:

a. Nilai tambah produk di sisi Ipteks.
Dipandang dari sisi Ipteks, kegiatan ini memberikan sumbangan dalam bentuk informasi mengenai penggunaan sistem silvopastoral. Selain untuk memperbaiki kembali lahan yang kritis juga untuk melindungi dan menjaga daerah tangkapan air.
b. Dampak sosial secara nasional.
Masyarakat petani akan selalu menggunakan sistem silvopastoral karena dapat menjaga atau menghindari bahaya banjir dan erosi serta lahan tersebut dapat dimanfaatkan petani untuk pemenuhan kebutuhan pakan ternak sehari-hari.
c. Manfaat ekonomi produk.
Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi atau meniadakan kerusakan lahan yang ada juga sebagai sumber pakan ternak sehingga biaya untuk pakan ternak berkurang dan margin keuntungan bertambah.

METODE - METODE PEMBUATAN ARANG

metode pembuatan arangArang kayu adalah residu yang terjadi dari hasil penguraian atau pemecahan kayu karena panas yang sebagian besar komponen kimianya adalah karbon.  Peristiwa ini dilakukan dengan jalan memanasi langsung atau tidak langsung terhadap kayu di dalam timbunan, kiln, retort, oven dengan atau tanpa udara terbatas.  Arang merupakan bahan padat yang berpori dari hasil pembakaran bahan yang mengandung unsur C dan sebagian besar pori-porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain serta komponennya terdiri atas karbon terikat, abu, air, hidrogen dan sulfur.

Tipe arang ada dua yaitu batangan (lump) dan halus atau pecahan.  Arang batangan digunakan untuk bahan baku memasak, keperluan metalurgi dan sebagai bahan baku untuk pembuatan zat kimia tertentu yang bahan baku utamanya dari jenis kayu daun lebar misalnya bakau, asam dan kesambi.  Arang halus digunakan untuk pembuatan briket dan arang aktif yang bahan bakunya dari serbuk, kulit dan serpih kayu dari sisa penggergajian

Masyarakat telah menggunakan arang kayu sejak ribuan tahun, kegunaannya lebih banyak untuk bahan bakar memasak.  Adanya perkembangan teknologi yang memanfaatkan sumber gas alam, listrik dan bensin untuk bahan bakar menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap arang semakin berkurang.  Bahkan, akhir-akhir ini volume permintaan arang kayu di pasaran dalam dan luar negeri semakin menurun karena masyarakat sudah banyak yang beralih kepada bahan bakar migas dan energi listrik.  Setelah diabaikan selama beberapa tahun terakhir, kini arang kayu mulai menarik perhatian setelah munculnya penemuan baru yang menyatakan produk arang tersebut banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia.  Kemajuan teknologi modern telah mengangkat tingkat produktifitas ilmu pengetahuan untuk meneliti manfaat arang bagi kepentingan manusia dengan aneka kegunaannya.  Arang kayu mempunyai peluang ekspor, di mana ekspor arang pada tahun 2004 sebanyak 367.087 kg dan tahun 2005 sebanyak 799.573 kg.  Hal ini menandakan bahwa ekspor arang kayu mengalami peningkatan ± 117,8%

Komoditi arang yang mengandung karbon dapat diolah menjadi berbagai produk rumah tangga yang berkhasiat bagi kesehatan, bahan campuran pakaian, produk kerajinan dan pertanian.  Manfaat baru lainnya adalah arang dapat dikembangkan untuk membuat produk-produk baru, seperti penjernihan air, alat untuk menjaga sayur dan makanan tetap segar, penambah kualitas tanah, pengatur kelembaban dinding dan lantai rumah dan obat penghilang bau.  Di Jepang, arang kualitas terbaik disebut kishu binchotan memancarkan sinar infra merah tinggi menebarkan aroma masakan yang dipanggang.  Selain itu, arang juga ramah lingkungan bila setelah selesai digunakan, dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil dan dikembalikan ke alam.


Karbonisasi

Karbonisasi menurut istilah berarti penguraian biomassa karena panas di atas 1500C.  Proses pengarangan merupakan proses pembentukan arang dari senyawa organik dalam bahan yang dominan yang mengandung selulosa.  Proses pengarangan terjadi melalui pemutusan ikatan karbon dengan hidrogen, di mana karbon tersebut tidak mengalami proses oksidasi.

Proses pengarangan dihindari terdapatnya oksigen, sehingga energi yang diberikan terhadap senyawa karbon tersebut berperan dalam memutuskan ikatan atom karbon dengan atom lainnya dalam struktur heksagonal.  Terdapatnya oksigen dari luar merupakan suatu faktor yang mempengaruhi hasil arang yang diperoleh karena karbon yang terbentuk dengan adanya oksigen akan  mengalami reaksi lanjutan yaitu oksidasi, sehingga hasil akhirnya berupa abu.  Produk yang paling penting dalam proses karbonasi adalah arang.  Tahap-tahap karbonasi secara singkat adalah sebagai berikut: 

a. Pada awal pemanasan, air dalam bahan baku dilepaskan bersamaan CO dan CO­2 dalam jumlah kecil.
b. Pada suhu  200 – 400 0C sebagian besar selulosa murni terurai secara intensif disamping pembentukan gas juga dijumpai sejumlah senyawa kecil senyawa karbon.
c. Pada suhu 400 – 500 0C lignin terurai dan dihasilkan lebih banyak ter sedangkan gas menurun dan meningkatkan suhu, maka gas CO2 semakin berkurang sedangkan gas CO, CH4 dan CH2 semakin meningkat.
d. Pada suhu 500 – 700 0C pembentukan ter dan gas hidrogen semakin bertambah, terbentuknya karbon mencapai 90 %.
e. Diatas suhu 700 0C diperoleh gas yang dapat diembunkan terutama terdiri atas gas hidrogen.

     Karbonisasi dimaksudkan untuk meningkatkan nilai kalor pembakaran, mengurangi asap pada saat dibakar dan mempermudah pengempaan dan proses pembuatan briket.  Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil karbonisasi antara lain:

a. Suhu akhir, lama proses kadar air, ukuran dan jenis bahan baku.
b. Berat jenis bahan baku, dimana berat jenis yang lebih tinggi akan menghasilkan arang yang lebih berat.
c. Kandungan lignin bahan baku. Semakin tinggi kandungan ligninnya maka semakin tinggi pula mutu arang yang dihasilkan
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses karbonisasi adalah kecepatan pemanasan dan tekanan udara dalam tanur.  Semakin cepat pemanasan, maka semakin sulit pengamatan tahap-tahap karbonisasi dan rendemen yang dicapai rendah.  Adapun faktor yang mempengaruhi hasil karbonisasi adalah kadar air bahan baku, kekerasan kayu, jumlah udara, suhu maupun lamanya pengarangan.



1.  Metode Konvensional
    Pembuatan arang dengan cara timbun merupakan cara tradisional, banyak dilakukan di pedesaan dan tidak memerlukan biaya produksi tinggi. Arang yang dihasilkan umumnya hanya digunakan untuk bahan bakar dalam rumah tangga.

    Pada metode pembuatan arang dengan kiln baik earth maupun portable kiln, kayu langsung berhubungan dengan pemanas atau api dan tujuan utamanya memproduksi arang kayu.  Metode kiln yang sangat sederhana adalah pembuatan arang dengan timbunan tanah. Prinsip kerjanya adalah kayu yang membara memberikan panas untuk berlangsungnya proses pengarangan.

    Keuntungan pembuatan arang dengan cara timbun diperoleh kemudahan dalam penetapan lokasi pengarangan, penyesuaian timbunan dengan jumlah bahan baku yang tersedia dan dalam memproduksi arang dapat dilakukan dengan modal yang kecil.  Selain itu, metode timbun juga mempunyai kelemahan yaitu proses karbonisasi tidak dapat diamati secara cermat atau sulit dikontrol dan proses pengarangan memerlukan waktu lama serta rendemen arang umumnya rendah.

    Pada pembuatan arang dengan menggunakan metode lubang tanah, yang perlu diperhatikan adalah pemilihan lokasi pembuatan lubang tungku.  Lokasi pembuatan lubang terletak relatif terlindung dari pengaruh hujan serta agak landai agar memudahkan didalam kegiatan pembuatan arang nantinya.  Kelebihan pembuatan arang dengan menggunakan metode tungku lubang tanah adalah volume kayu serta ukuran bahan baku dari limbah yang digunakan relatif lebih besar. Lubang digali dalam tanah dengan ukuran 1 x 2 x 3 m, pada dasar lubang dimasukkan sedikit bahan baku kemudian dibakar setelah itu bahan tersebut ditambahkan secara bertahap sampai mencapai permukaan lubang. Air dipancarkan/dipercikkan bila dalam proses pembakaran timbul nyala api.  Jika proses pembakaran telah selesai maka seluruh permukaan lubang ditutup dengan daun dan batang kemudian dibiarkan sampai dingin.  Metode ini menghasilkan arang dengan mutu rendah dan umumnya hanya untuk keperluan rumah tangga.

2.  Metode Kiln Drum
    Pembuatan arang dengan cara kiln drum umumnya digunakan untuk tujuan komersil.  Dengan metode drum, karbonisasi dapat diamati dan diawasi melalui pengatur udara masuk dan tidak tergantung dari cuaca pada saat itu.  Cara kiln drum ini cocok dikembangkan bagi penduduk yang berada di sekitar hutan guna untuk mengurangi limbah tebangan dari areal hutan produksi.  Kiln ini terbuat dari besi yang terdiri atas dua buah silinder dipasang secara bersambung.  Cara kerjanya adalah panas berasal dari bahan baku kayu itu sendiri yang dibantu oleh udara dari luar yang diatur menurut kapasitas kiln tersebut.  Portable kiln memerlukan waktu pengarangan ±  4 (empat) hari untuk kapasitas 9 – 10 m³ kayu dengan hasil arang ± 1800 kg.

   Teknologi pembuatan arang dengan kiln drum adalah suatu metode pembuatan arang yang murah dan sederhana tetapi dapat menghasilkan rendemen dan kualitas arang yang cukup tinggi.  Teknologi ini dapat diterapkan pada industri rumah tangga di pedesaan karena bahan konstruksi drum bekas mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah.  Selain itu, konstruksi tungku dan operasi pengolahannya mudah dilakukan oleh siapa saja yang berminat dan tidak memerlukan pendidikan khusus.

     Sebelum  melaksanakan pembakaran terlebih dahulu alat dibersihkan dari sisa abu yang tertinggal di dasar drum.  Selanjutnya pada dasar drum diberi beberapa kayu atau kertas dan dibakar, kemudian dibiarkan sampai bahan tersebut menyala, kemudian ditambahkan setengah dari drum ke dalam tungku pembakaran, pada tahap ini harus dijaga agar bahan yang dibakar tidak menyala.  Untuk tahap penambahan selanjutnya dilakukan apabila bahan yang sedang dibakar menyala dan tidak mau padam walaupun telah ditutup penutup drumnya.  Banyaknya penambahan sama dengan penambahan pertamanya.  Pekerjaan ini dilakukan sampai drum pembakaran penuh, setelah itu bahan yang ditambahkan terkarbonisasi drum ditutup tapi lubang kecil tetap dibiarkan terbuka.  Setelah ada tanda-tanda asap putih kebiruan yang halus keluar dari lubang kecil penutup drum maka lubang tersebut ditutup rapat dan akhirnya drum dibiarkan sampai bahan terkarbonisasi penuh dikeluarkan dari drum pembakaran.
     
3.   Metode Kiln Bata dan Beton
    Kiln bata merupakan modifikasi dari model Thailand yang dirancang untuk kemudahan operasi dan kualitas arang yang dihasilkan.  Dengan menggunakan dinding terbuat dari bata yang diplester atau kombinasinya dengan campuran pasir dan semen, maka kiln dapat dibuat dalam ukuran besar dan permanen sehingga bahan baku dapat terkontrol sehingga waktu proses lebih cepat serta menghasilkan arang dalam jumlah lebih banyak, seragam dan kualitas yang lebih baik.  Perkembangan lanjut tipe ini mengarah pada variasi bentuk dinding, atap, bahan kontruksi, jumlah cerobong asap, lubang pengapian dan ukuran pintu pemasukan bahan baku.

    Kiln terdiri atas ruang pembakaran, pintu pemasukan kayu, lubang pembakaran, lubang udara, lubang penguapan dan cerobong asap.  Badan dan atap kiln terbuat dari bata, dengan ukuran diameter 2,2 m dan tinggi 1,6 m.  Lubang pembakaran berjumlah 2 buah, lubang udara 6 buah, lubang penguapan 4 buah, cerobong asap 1 buah dan pintu pemasukan kayu 1 buah.  Ukuran kayu berdiameter 10 – 25 cm dan panjang antara 25 – 50 cm, lama proses pengarangan dari saat pembakaran sampai arang dikeluarkan dari kiln adalah 2,5 hari (55 jam) atau seluruhnya memerlukan siklus waktu 6 – 7 hari.

     Demikianlah artikel mengenai metode atau cara pembuatan arang, semoga bermanfaat
HUTAN KEMASYARAKATAN  (HKm)

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)



PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI HUTAN KEMASYARAKATAN
(HKm)
  1. Potensi Hutan dan Sumber Daya Manusia
  1. Hutan dan lingkungan
  1. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki berbagai manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga hutan tdak saja berperan sebaga pemasok bahan baku (kayu) tetapi juga berperan sebagai sistem penyangga kehidupan (pengatur tata air dan penopang ekosistem pada umumya).
  2. Degradasi hutan untuk bebagai kepentingan sudah dirasakan masyarakat sejak lebih dua dekade terakhr. Akibat proses degradasi berjalan terus menerus maka faktor produksi penting seperti lahan di desa mengalami kekritisan sampai pada tingkat tidak lagi dapat diharapkan menghasilkan sesuatu produk untuk menopang keberlanjutan hidup masyarakat desa hutan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
  3. Kebijakan pengelolaan hutan pada kawasan hutan produksi melalui pemberian ijin HPH ternyata tidak pula menjamin kelestarian hutan dan kurang menyentuh langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, sehingga terjadi seluas 4,6 juta ha kawasan hutan ex HPH tersebar di beberapa propinsi yang tidak lagi potensial untuk dikelola dengan pola HPH. Kondisi ini mendorong diperlukannya alternatif pola dalam upaya menahan laju degradasi hutan. Salah satu pola yang memungkinkan diterapkan adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm), karena dengan HKm partisipasi masyarakat dilibatkan dalam mengelola hutan secara lestari sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
  1. Masyarakat
    1. Secara historis, harus diakui bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan merupakan komunitas yang seringkali " dicurigai" sebagai perusak hutan. padahal mereka biasanya memiliki tradisi yang kaya akan kearifan tradisional dalam memanfaatkan dan memelihara sumberdaya hutan namun kurang diketahui oleh masyarakat luas, Kondisi ini membuat peran masyarakat desa hutan sebagai pemelhara dan pelestari sumberdaya hutan kurang memperoleh pengakuan
    2. Masyarakat desa hutan sebagian besar merupakan masyarakat yang tergolong masih tertinggal dalam hal pengetahuan dan ketrampilan juga terutama dalam hal aksesnya untuk memperoleh iinformasi dan memanfaatkan peluang kemudahan-kemudahan yang tersediia bagi mereka.
  1. Kelembagaan Kehutanan
Lembaga formal yang terlibat dalam pengurusan dan pengelolaan hutan pada saat ini meliputi Departemen Kehutanan dengan Unit Pelaksana Teknis di daerah, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten serta BUMN
  1. Sinergi Potensi Pengelolaan Hutan
  1. Kondisi pengelolaan hutan
Pelaksanaan pengelolaan hutan yang menitik beratkan pada pemanfaat an secara ekonomi dengan kebijakan yang sentralistik mengalamii kegagalan dan hal ini telah menyadarkan banyak pihak untuk tidak mengulangi kesalahan yang oleh karena itu upaya pengelolaan hutan saat ini dan dimasa datang mulai ke arah pemberdayaan masyarakat melalui proses partisipatif
Pada tataran kebijakan, perubahan mendasar telah dilakukan dengan disahkannya UU no. 41/1999 tentang Kehutanan. Yang pada penjelasan pasal 5 dan 7 memberiikan alternatif pengelolaan hutan untuk pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pengembangan peran serta masyarakat diatur lebiih lanjut pada pasal 68.
  1. Kelembagaan masyarakat
Organisasi masyarakat pendukung kegiatan kehutanan jumlahnya sudah banyak di desa. Namun organisasi kemasyarakatan tersebut belum disiapkan untuk mengelola sumberdaya hutan dalam jangka panjang.
Organisasi yang ada biasanya beranggotakan petani-petani kecil dalam kelembagaan yang informal dengan kondisi yang tidak saja lemah dalam asset dan permodalan tetapi juga dalam penguasaan teknologi dan pemasaran produk, mesyarakat dijadikan obyek, wahana untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan. Dengan demikian dalam pengembangannya diperlukan dukungan modal, inovasi teknologi, bimbingan teknis dan manajerial serta jaminan pemasaran bagi produk yang dihasilkan serta dukungan peraturan dan fasilitasi oleh berbagai pihak sehingga masyarakat dapat menjadi subyek dari pembangunan itu sendiri.
  1. Kelembagaan pengelolaan hutan
Sejalan dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan yang mengikuti penerapan kebijakan otonomi daerah maka jajaran Departemen Kehutanan telah memulai melaksanakan program pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dengan HKm masyarakat desa hutan merupakan mitra Pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari.
  1. Sinergi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan
    1. Lembaga masyarakat yang mandiri sebagai subyek pembangunan hutan dengan net workingnya (terlampir).
    2. Restrukturisasi organisasi dan manajemen kehutanan yang dapat bermitra dengan Lembaga masyarakat mandiri dengan supervisinya.
    3. Fasilitasi dalam permodalan khususnya dari Pemerintah.
    4. Sistem silvikultur yang produktif dan efektif terhadap gangguan pengelolaan hutan baik kebakaran maupun pencurian hasil hutan maupun penjarahan lahan.
  1. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
  1. Lembaga Masyarakat Mandiri
    1. Kelompok tani terpolakan dalam Lembaga formal mandiri (berbadan hukum).
    2. Konsep pemberian hak dan kemitraan yang menguntungkan kedua pihak (petani dengan Pemerintah, BUMN atau Swasta)
    1. Kelompok tani diberi Hak Pengelolaan Hutan atas Hutan Negara / Adat / Desa yang belum dibebani hak
    2. Kemitraan dapat dilakukan atas areal yang sudah dibebani hak :
1). Swasta
2). BUMN
    1. Pembentukan dan pendayagunaan HKm dengan skala prioritas sesuai kesiapan lembaga masyarakat, untuk itu diperlukan standar dan kriteria
    1. Untuk memudahkan kelompok tani melakukan kemitraan dengan BUMN maupun Swasta maka organisasi pengelola hutan (UPT, BUMN dan Swasta) harus disesuaikan dan Pemerintah memberikan supervisi untuk teknologi, pasar dan kelembagaan serta fasilitasi.
    2. Untuk menunjang keberhasilan pola kemitraan khususnya bagi BUMN maka perlu perubahan pengelolaan hutan khususnya BUMN :
    1. Bentuk perusahaan kehutanan yang sesuai adalah Perum dengan otonomi yang luas (seperti Perum Perhutani). Bentuk Perum lebih sesuai karena sifatnya mengelola asset publik (hutan) yang menekankan pelayanan masyarakat.
    2. BUMN terbagi 2 yaitu Perum Perhutani (di Jawa ) dan Perum Inhutani (di Luar Jawa) yang merupakan merger dari Inhutani I s/d V.
    3. Struktur organisasi perlu disesuaikan (terlampir), sehingga lebih memungkinkan peluang kemitraan dengan usaha masyarakat dan manajemen dilakukan secara professional.
    4. Departemen Kehutanan selaku regulator dan selaku kuasa pemegang saham BUMN sehingga mekanisme RUPS cukup di Departemen Kehutanan (perlu PP tersendiri).
    5. Butir a. s/d d. diharapkan akan dapat menunjang kepentingan pusat dan daerah.
    1. Sterilisasi perijinan (semua ijin yang berkaitan dengan pungutan-pungutan dihapuskan kecuali yang berkaitan dengan kemitraan dan ijin usaha Hutan Kemasyarakatan/HKm), dengan demikian ijin yang sudah dikeluarkan tidak akan diperpanjang.
    2. Pembagian hasil
Pembagian keuntungan antara kelompk tani dan pemerintah :
    1. Hak Pengelolaan
1). Bagian keuntungan bagi kelompok tani
2). Bagian keuntungan Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Pemerintah mendapat keuntungan dari pajak dan laba usaha (hasil agrobisnis dan/atau hasil hutan)
    1. Kemitraan
1). Mendapat bagian keuntungan pada akhir daur dari hasil hutannya
2). Upah kerja
3). Pembagian hasil agrobisnis (usaha tani pangan, kebun dan ternak)
    1. Baik pada a dan b kelompok tani bertugas melakukan pengamanan hutan hingga panen
    1. Pola usaha Agrobisnis :
    1. Tanaman hutan (kayu dan non kayu)
1). Jenis tanaman sesuai peruntukan lahan
2). Jarak tanam, menggunakan jarak tanam akhir daur yang memiliki keuntungan :
a). Memberi tenggang waktu yang cukup bagi usaha tani dan usaha tanaman hutan yang bisa dikembangkan dengan konsep agrobisnis
b). Jumlah kebutuhan bibit tanaman hutan akan diperkecil, biaya tanam hemat, penghematan dapat diarahkan untuk mendapatkan jenis unggul sehingga diharapkan hasil akhir daur dapat optimal
c). Tanpa penjarangan khususnya untuk di luar Jawa karena kegiatan penjarangan memerlukan biaya besar dan hasil penjarangan kalau diangkut keluar hutan akan menimbulkan beban biaya sedangkan jika dibiarkan akan menjadi bahan bakar/penyulut api dimusim kering. Selain itu hasil penjarangan tidak laku dijual dan biasanya tidak ada yang berminat memanfaatkannya. Dengan demikian keuntungan tanpa penjarangan yakni adanya penghematan karena tak perlu ada biaya penjarangan dan tidak memberikan kemudahan terjadinya kebakaran hutan di musim kering
e). Perlu prunning intensif. Prunning akan terjadi otomatis karena peserta usaha tani akan tergerak melakukannya untuk mendapatkan ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman usaha tani.
    1. Tanaman pertanian
1). Jenis budidaya pertanian yang dikembangkan berupa :
a). Tanaman pangan
b). Kebun
c). Ternak
2). Manfaat budidaya pertanian :
a). Optimalisasi pemanfaatan ruang antara tanaman pokok
b). Penutup lahan terbuka
c). Usaha tani yang cepat menghasilkan sambil menunggu panen hasil hutan
d). Meningkatkan kesuburan tanah hutan
e). Akan meningkatkan frekuensi kehadiran pengelola lahan/petani di kawasan hutan untuk memelihara tanamannya sehingga upaya penanggulangan gangguan keamanan hutan dapat berjalan dengan sendirinya
f). Pengelolaan lahan yang intensif membuat lahan selain subur juga bersih dan selalu hijau sehingga upaya penanggulangan kebakaran hutan menjadi efektif.
3). Untuk meningkatkan penghasilan petani bisa dikembangkan upaya tindak lanjut dari pemanfaatan lahan yaitu industri rumah tangga, usaha pakan ternak dll, khususnya pada tingkat hulu
  1. Fasilitasi
    1. Penyediaan Pedoman Pelaksanaan /Prosedur HKm
    2. Modal kerja berupa :
    1. Kredit lunak ( bisa bersumber dari Dana Reboisasi )
Pengaturan lebih lanjut tentang kredit diserahkan kepada Pemerintah (DEPHUT) yang meliputi : pengaturan UPT yang menangani kredit, Bank Penyalur dan DR yang dapat dimanfaatkan.
    1. Penyertaan Modal Pemerintah (PMP)
    2. Dari Sumber lain non Pemerintah
    1. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
    1. Pemberian Hak Pengelolaan
    2. Saksi atas kemitraan
    1. Peran BUMN / Swasta
    1. Pengelolaan sebagian hutan negara / Desa / Adat.
    2. Industri hulu dan hilir.
    3. Penanganan pasar hasil hutan.
    1. Fasilitasi dalam operasional pengelolaan (misal pelatihan, refleksi pelaksanaan)  
  1. Pengembangan sistem informasi pasar untuk produksi hasil hutan, agrobisnis, dan perkembangan harga pasar secara periodik.
  2. Supervisi (Internal /UPT, Pendampingan dan Eksternal)
  1. Adanya tenaga simpul penggerak berupa tenaga professional kehutanan/tenaga terlatih/pendampingan dalam konteks PMP
  2. Supervisi oleh UPT Pusat dan Dinas Kehutanan :
    1. Teknologi
    2. Pasar
    3. Kelembagaan
    1. Pengendalian Pemerintah
    1. Kontrol Pemerintah oleh DEPHUT melalui Ditjen RLPS, Pemerintah memasukan tenaga pendamping yang berperan sebagai supervisi internal sesuai dengan saham yang dimiliki Pemerintah dan juga sebagai supervisi ekternal.
    2. Perjanjian kemitraan untuk jangka panjang dan diketahui oleh DEPHUT
    3. Pola kemitraan diterapkan untuk jangka waktu ± 20 tahun (s/d akhir daur) dan evaluasi terhadap kemitraan yang ada, dilakukan tiap tahun untuk menilai kinerja usaha
    4. Konsep pertanggungjawaban usaha terhadap pemilik modal/pemegang saham dengan formula Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan untuk sementara semua usaha HKm bermitra dengan Pemerintah yang kemudian secara bertahap dapat bermitra dengan BUMN atau Swasta